Diubahnya arah Kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah membuat setiap orang bertanya-tanya. Orang-orang yang mengira bahwa setiap hukum itu harus permanen akan selalu mempertanyakan, “Kalau memang kita diharuskan mengarahkan wajah kita ke arah Ka’bah dalam shalat, mengapa kita tidak diperintahkan sejak awal? Dan jika memang Baitul Maqdis itu lebih dahulu sebagai Kiblat para nabi terdahulu, lalu mengapa diubah?â€
Musuh-musuh Islam pun mempunyai kesempatan besar untuk menghasut. Mereka berkata, “Pada awalnya memang beliau (Nabi Muhammad saw.) mengarahkan wajahnya ke Kiblat para nabi terdahulu. Kemudian, setelah berhasil memenangkan suku bangsanya, beliau segera mengubah arah itu dengan Kiblat bangsanya.†Mungkin juga mereka akan mengatakan, “Demi menarik perhatian para pengikut agama Yahudi dan Nashrani, pertama-tama beliau menerima Baitul Maqdis sebagai Kiblat. Kemudian, ketika usahanya itu tidak membuahkan hasil, beliau segera menggantinya dengan Ka’bah.â€
Sudah jelas bahwa provokasi semacam itu yang disebarkan di tengah-tengah masyarakat -di mana cahaya ilmu dan keimanan mereka belum terpatri kuat, sementara sisa-sisa kemusyrikan dan penyembahan berhala masih terlihat- membuat muslimin merasa khawatir dan iman mereka tergoncang. Oleh karena itu, di dalam surat al-Baqarah [2], ayat 143, Al-Qur'an menegaskan bahwa pengubahan kiblat itu betul-betul merupakan ujian besar untuk mengetahui sikap orang-orang yang beriman dan orang-orang yang musyrik.
Sesungguhnya di antara sebab-sebab perubahan arah Kiblat ialah bahwa pada masa itu, Ka’bah adalah tempat penyimpanan patung-patung kaum musyrikin. Oleh karena itu, untuk sementara waktu umat Islam diperintahkan menghadapkan wajah mereka ke arah Baitul Maqdis dalam shalat. Dengan demikian, barisan mereka terpisah dengan barisan kaum musyrikin. Adapun ketika beliau saw. dan muslimin hijrah ke kota Madinah dan pemerintahan Islam telah dibentuk, serta barisan mereka telah nampak jelas berbeda dengan kaum musyrikin, maka tidak perlu lagi melanjutkan tradisi ritual tersebut. Ketika itu, arah Kiblat dikembalikan ke Ka’bah yang merupakan sentral tauhid yang paling lama dan peninggalan para nabi yang paling tua.
Sudah pasti, orang-orang yang menganggap Ka’bah itu merupakan tonggak kesukuan tidak merasa tentram menghadapkan wajahnya ke arah Baitul Maqdis ketika shalat. Sebagaimana pula mereka tidak akan pernah merasa tentram ketika Kiblat itu dikembalikan ke arah Ka’bah setelah mereka terbiasa menghadapkan wajahnya ke arah Kiblat yang pertama.
Melalui perintah tersebut, keimanan kaum muslim betul-betul diuji sehingga sisa-sisa kemusyrikan yang masih bersarang dalam diri mereka menjadi sirna, hubungan mereka dengan polusi syirik terputus, dan akhirnya dapat menerima perintah Ilahi tersebut dengan penuh ketulusan hati.
Sebagaimana telah kami singgung bahwa Allah Swt. tidak mempunyai dan tidak membutuhkan tempat. Kiblat hanya sebagai lambang persatuan barisan umat Islam dan demi menghidupkan ruh tauhid. Perubahan arah Kiblat tersebut sama sekali tidak membuat sesuatu menjadi goyah. Dan yang penting adalah kepasrahan dalam menerima perintah Ilahi dan menghancurkan berhala-berhala fanatik, kecongkakan, dan kesombongan.
Filsafat Shalat
Ayat 45 surat Al-â€کAnkabut membahas filsafat agung shalat. Ayat itu berbunyi, “Sesungguhnya shalat itu mencegah [manusia] dari perbuatan yang keji dan mungkar.â€
Pada dasarnya, hakikat shalat adalah mengajak manusia untuk mengetahui faktor pencegah paling kuat (dalam diri manusia). yaitu keyakinan terhadap wujud Allah (permulaan) dan Hari kebangkitan (ma’أ¢d) yang berpengaruh kuat dalam mencegah manusia dari melakukan perbuatan yang keji dan mungkar.
Tanpa syak lagi, manusia yang mempunyai kalbu demikian akan memahami bahwa setiap langkah perjalanannya akan mengarah kepada sesuatu yang hak dan benar, gerakannya akan menuju kepada kesucian dan kesempurnaan, dan lompatannya akan melesat ke arah ketakwaan.
Manusia semacam ini, ketika melakukan shalat dengan membungkukkan badannya untuk ruku’, laksana seorang hamba dan meletakkan dahi di atas permukaan tanah di haribaan suci-Nya untuk mengakui kebesaran dan kemuliaan-Nya dan tenggelam dalam keagungan-Nya, serta menghapus segala ego dan kesombongan yang ada pada dirinya.
Lalu ia pun akan mengucapkan syahadat untuk memberikan kesaksian atas keesaan-Nya dan risalah Rasul-Nya.
Setelah itu, ia mengirimkan shalawat kepada utusan-Nya yang mulia, Rasulallah saw. dan menengadahkan kedua tangannya di bawah mihrab sucinya-Nya untuk memohon belas kasih supaya dimasukkan ke dalam golongan hamba-hamba-Nya yang salih.
Semua faktor ini akan memunculkan semangat spiritual dalam dirinya; sebuah gelombang besar yang mampu melebur dan meluluhlantakkan setiap dosa yang menumpuk di hadapannya.
Amal semacam ini terulang beberapa kali dalam sehari semalam. Bahkan, ketika ia terbangun dari tidurnya di pagi hari yang masih gulita pun, ia telah tenggelam dalam kenikmatan mengingat-Nya.
Di pertengahan hari, ketika ia telah disibukkan oleh kehidupan materi, tiba-tiba suara takbir muazin akan menghentakkan dan menyadarkannya untuk menghentikan sejenak apa yang sedang dikerjakannya, kemudian bergegas mempersiapkan diri menghadap ke pelukan Sang Kekasih. Bahkan pada akhir hari dan permulaan malam sebelum menuju ke tempat istirahatnya pun, ia masih menyempatkan diri untuk mencurahkan seluruh isi hatinya, mengadu, menangis, meratap, berkeluh kesah kepada Sang Pemilik Hati dan menciptakan hatinya sebagai pusat cahaya-Nya.
Setelah itu dan untuk selanjutnya, pada saat menyambut kedatangan shalat, terlebih dahulu ia akan memulainya dengan mencuci dan menyucikan diri, menjauhi segala hal yang haram dan menghindarkan diri dari kemarahan, kemudian bergegas mendatangi tempat Sang Kekasih yang penuh dengan persahabatan. Demikianlah, seluruh faktor ini mempunyai efek dalam mencegah diri ketika berhadapan dengan hal-hal yang keji dan mungkar.
Hanya saja, efek shalat itu sesuai dengan terpenuhinya syarat-syarat kesempurnaan dan ruh ibadah dalam mencegah diri dari perbuatan keji dan mungkar, yang terkadang hal ini dapat membentuk sebuah sistem kontrol pada segala kondisi, terkadang pula pada kondisi-kondisi tertentu dan terbatas.
Adalah mustahil terjadi jika seseorang yang telah melakukan shalat tidak mendapatkan sedikitpun efek dari apa yang telah ia lakukan, betapapun shalat yang dilakukannya hanya bersifat formalitas saja dan betapapun orang yang melakukan shalat adalah orang yang bergelimang dengan dosa. Tentu saja pengaruh dari shalat yang dilakukan oleh orang-orang semacam ini tidak akan pernah mendapatkan hasil yang maksimal. Namun, bila mereka meninggalkan shalat, sudah pasti akan semakin hanyut dan bergelimang dalam perbuatan-perbuatan dosa.
Lebih jelas kami tekankan bahwa pencegahan shalat dari perbuatan keji dan mungkar memiliki derajat dan tingkatan yang berbeda-beda. Dan setiap shalat apabila diukur dengan perhatian terhadap syarat-syarat yang dimilikinya, akan mampu menduduki sebagian dari derajat-derajat tersebut.
Di dalam salah satu hadis, dinukil bahwa pada masa Rasulullah saw., terdapat seorang pria muda dari kaum Anshar yang senantiasa mengikuti shalat yang dilakukan oleh Rasul saw. Tetapi, pada sisi lain ia masih senantiasa bergelimang dalam berbagai maksiat. Lalu, hal ini disampaikan kepada Rasul saw. Setelah mendengar laporan ini beliau bersabda, “Suatu hari nanti shalatnya dapat mencegahnya dari perbuatan-perbuatannya tersebut.â€
Sedemikian pentingnya pengaruh shalat, hingga pada sebagian riwayat Islam disebutkan bahwa bias yang akan muncul dari pelaksanaan shalat akan menjadi tolok ukur apakah shalat yang dilakukan oleh seseorang telah diterima di sisi-Nya ataukah belum. Imam Ash-Shadiq a.s. dalam salah satu hadis berkata, “Seseorang yang ingin melihat apakah shalatnya telah diterima oleh Allah Swt atau belum, hendaklah ia melihat apakah shalat yang telah dilakukannya ini dapat mencegahnya dari perbuatan yang keji dan mungkar atau tidak? Sejauh mana ia telah tercegah dari hal-hal tersebut, sekadar itu pulalah shalat yang dilakukannya telah dikabulkan di sisi-Nyaâ€.
Kelanjutan ayat di atas menegaskan,â€Dan sesungguhnya mengingat Allah itu adalah lebih besar [keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain].â€
dzahir ungkapan ini menjelaskan sisi lain dari filsafat shalat. Bahkan, ia mempunyai kedudukan lebih tinggi dan lebih penting dari mencegah perbuatan keji dan mungkar itu sendiri. Efek tersebut adalah, bahwa dengan melakukan shalat, manusia dituntun untuk senantiasa mengingat Allah swt. Hal ini merupakan akar dari segala kebaikan dan kebahagiaan. Bahkan, dapat diakui bahwa unsur utama dari pencegah perbuatan keji dan mungkar adalah mengingat Allah (dzikrullah). Keutamaan mengingat Allah dikarenakan dzikir merupakan sebab dari pencegahan tersebut.
Pada prinsipnya, mengingat Allah swt. merupakan inti detak kehidupan kalbu manusia dan puncak ketenangan hati. Tidak ada sesuatu pun selainnya yang bisa mencapai tingkatan semacam ini.
Di dalam surat Ar-Raâ€کd [13], ayat 28 ditegaskan, “Ketahuilah bahwa dengan mengingat Allah hati menjadi tentram.â€
Pada dasarnya, ruh seluruh ibadah —baik ibadah shalat maupun selain shalat— adalah mengingat Allah Swt. Berbagai bacaan, gerakan, mukaddimah, ta’qأ®b, doa, dan selainnya yang dilakukan dalam shalat, sebenarnya adalah untuk menghidupkan ruh zikir kepada Allah Swt di dalam hati manusia.
Perlu diperhatikan bahwa di dalam ayat 14 surat Thaha telah diisyaratkan prinsip filsafat shalat. Kepada Nabi Musa a.s. Allah Swt. berfirman, “Dirikanlah shalat untuk mengingat-Ku.â€
Dalam sebuah hadis diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal bahwa Rasulullah saw. bersabda, “Tidak ada sesuatu pun yang lebih baik dari amal manusia yang bisa menyelamatkan mereka dari azab Ilahi selain mengingat-Nya.†Lalu, Mu'adz bertanya kepada beliau, “Meskipun jihad di jalan Allah?†Beliau menjawab, “Iya! Karena Allah Swt. berfirman, â€کSesungguhnya mengingat Allah adalah lebih besar [keutamaannya dari ibadah-ibadah yang lain].’â€
Efek Shalat dalam Mendidik Individu dan Masyarakat
Meskipun filsafat shalat bukanlah rahasi bagi seseorang, akan tetapi pemberian atensi yang besar terhadap teks ayat dan riwayat Islam akan menuntun kita pada berbagai pekerjaan yang lebih mengakar dalam masalah ini.
a. Hakikat, prinsip, tujuan, pondasi, mukaddimah, hasil, dan —pada akhirnya— filsafat shalat adalah mengingat Allah Swt. yang pada ayat di atas ditegaskan, bahwa zikir memberikan hasil yang paling tinggi dibandingkan ibadah-ibadah yang lain.
Tentu saja yang dimaksud dengan zikir di sini adalah zikir sebagai mukaddimah berpikir, dan berpikir yang dilandasi oleh keinginan untuk mengaktualkannya. Imam Ash-Shadiq a.s. dalam salah satu hadis ketika menafsirkan ayat waladzikrullأ¢h Akbar berkata, “(Zikir adalah mengingat Allah ketika hendak melakukan pekerjaan halal dan haram.†(Yaitu, mengingat Allah awt. ketika melakukan perbuatan yang halal dan menutup mata dari perbuatan yang haram).
b.Shalat merupakan media menyucikan diri dari dosa-dosa dan memohon pengampunan Ilahi, karena —mau tidak mau— shalat yang dilakukan oleh manusia akan mengajaknya untuk mengoreksi diri, memperbaiki diri, dan bertaubat atas apa yang telah dilakukan pada masa lalu. Oleh karena itu, dalam salah satu hadis kita membaca, Rasulallah saw. pernah bertanya kepada para sahabat, “Apabila di hadapan pintu rumah Kamu terdapat sebuah sungai yang mengalir dengan bening dan bersih, kamu mandi dan mencuci badannya lima kali dalam sehari semalam di dalam sungai itu, Apakah masih tersisa daki dan kotoran di badan Kamu?†Mereka menjawab, “Tidak ada, ya Rasulallah!†Lalu beliau melanjutkan,“Shalat sebagaimana halnya air mengalir itu. Setiap saat seseorang melakukan shalat, maka dosa-dosa yang dilakukannya di antara dua shalatnya akan terhapus dan menjadi bersih karenanya.â€
Dan dengan shalat ini, luka, barutan, dan goresan dosa yang ada di dalam ruh dan jiwa manusia akan sembuh karena kemanjuran obat yang berbentuk shalat ini, dan karat-karat yang terdapat di dalam kalbunya pun akan menjadi bersih kembali dengan melakukan shalat.
c. Shalat merupakan tanggul penghalang dalam menghadapi serangan dosa-dosa yang akan datang, karena sesungguhnya shalat akan menguatkan iman di dalam kalbu manusia dan menumbuhkan tunas-tunas ketakwaan baru di dalam hatinya. Kita mengetahui bahwa “iman†dan “takwa†merupakan tanggul yang paling kuat untuk menahan goncangan dosa, dan ini merupakan maksud dalam ayat di atas bahwa shalat adalah pencegah dari perbuatan keji dan mungkar, dan merupakan maksud dari banyak hadis yang mengatakan bahwa terdapat sekelompok orang yang senantiasa melakukan dosa, lalu kondisi mereka itu diceritakan kepada para imam a.s. Mereka berkata, “Janganlah bersedih, karena shalat akan memperbaiki merekaâ€, dan ternyata memang demikian.
d. Shalat akan Menghancurkan Kelalaian
Musibah paling besar yang dialami oleh para pencari jalan kebenaran adalah lalai terhadap tujuan penciptaan dan tenggelam dalam kehidupan materi serta kelezatan-kelazatan duniawi yang hanya sekejap. Tetapi, dengan adanya variasi hukum dalam setiap jaraknya dan pelaksanaannya secara kontinyu yang dilakukan sebanyak lima kali dalam sehari semalam, shalat akan senantiasa membunyikan lonceng peringatan kepada manusia dan akan membangun ingatannya untuk senantiasa sadar terhadap tujuan penciptaan.
Dengan shalat, kehadiran-Nya di alam ini akan senantiasa diperdengarkan, dan merupakan suatu kenikmatan yang sangat besar bahwa manusia mempunyai sarana dan fasilitas yang berada dalam ikhtiyarnya, sehingga dengan alat yang dimilikinya ini ia selalu terjaga secara kuat beberapa kali dalam sehari semalan.
e. Shalat menghilangkan kesombongan dan 'ujub
Dengan shalat, kesombongan dan rasa kagum terhadap diri sendiri akan bisa terberangus dari diri manusia. Karena selama sehari semalam manusia melakukan tujuh belas rekaat shalat, di mana dalam setiap rekaatnya, ia meletakkan dahinya di atas tanah sebanyak dua kali dan merendahkan diri di hadapan-Nya. Ia menganggap dirinya hanyalah butiran yang begitu kecil yang tak berharga dibandingkan dengan keagungan-Nya, bahkan menganggap dirinya bukanlah apa-apa ketika berada di hadapan Dzat Yang Tak Terbatas.
Shalat akan menyibakkan tirai-tirai kesombongan dan egoisme manusia, serta memporak-porandakan kesombongan dan rasa puas pada diri sendiri.
Dengan dalil inilah Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s. dalam sebuah hadis terkenal yang merefleksikan filsafat ritual Islam setelah iman, dalam rangka menjelaskan ibadah shalat berkata, “Allah mewajibkan iman untuk membersihkan manusia dari syirik dan mewajibkan shalat untuk membersihkan diri dari kesombongan.â€
f. Shalat sebagai penyempurnaan akhlak
Shalat merupakan mediator kesempurnaan akhlak dan spiritualitas manusia, karena shalat akan mengeluarkannya dari dunia materi yang terbatas dan dari ruang lingkup empat sisi dinding alam natural, lalu mengajaknya melesat terbang ke langit malakut dan menyatukannya dengan barisan para malaikat. Setelah itu, ia akan melihat dirinya berada di hadapan -Nya tanpa membutuhkan sedikitpun mediator, dan ia pun akan melihat betapa dirinya telah mampu melakukan perjumpaan dengan Nya.
Pengulangan amal ini dalam sehari semalam yang dilakukan dengan menyandar pada sifat-sifat Allah yang Pengasih, Penyayang dan keagungan yang dimiliki-Nya, khususnya dengan bertawassul kepada surat-surat yang bervariasi dalam Al-Qur’an setelah selesai membaca Al-Fatihah, merupakan penggerak ke arah kebaikan dan kesucian yang paling utama. Dan hal ini mempunyai pengaruh yang tidak sia-sia dalam pembinaan keutamaan akhlak di dalam wujud manusia.
Oleh karena itu, dalam salah satu hadis mengenai filsafat shalat, Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib a.s. berkata, “Shalat merupakan perantara untuk bertaqarrub dan mendekatkan diri kepada Allah bagi setiap orang yang bertakwa.â€
g.Shalat mengisi nilai pada seluruh amal
Shalat memberikan nilai dan ruh pada keseluruhan amal yang dilakukan oleh manusia. Karena shalat akan menghidupkan hakikat keikhlasan, dimana shalat merupakan kumpulan dari niat yang murni dan perkataan yang suci, serta amal-amal yang dilaksanakan dengan penuh keikhlasan. Pengulangan amal-amal tersebut secara keseluruhan dalam sehari semalam akan menyebarkan bibit-bibit amal yang terpuji di dalam jiwa manusia dan akan menguatkan keikhlasan yang ada di dalam wujudnya.
Oleh karena itu, dalam salah satu hadis terkenalnya, Amirul Mukminin Ali bi Abi Thalib a.s. ketika berwasiat setelah terluka oleh hujaman pedang Ibnu Muljam (la’natullah â€کalaih) berkata, “Jagalah shalat! Karena sesungguhnya shalat merupakan tiang dari agamamu.â€
Kita mengetahui bahwa apabila tiang yang dipergunakan untuk mendirikan kemah patah atau roboh, maka betapapun kuatnya tali dan paku-paku yang tertancap di sekitarnya tidak akan membawa pengaruh sedikitpun untuk tegaknya kembali kemah tersebut. Demikian juga halnya ketika tidak ada lagi komunikasi antara hamba dengan Tuhannya yang dimanifestasikan dalam bentuk shalat, maka amal yang lainnya pun akan menjadi kehilangan pengaruh.
Dalam sebuah hadis, Imam Ash-Shadiq a.s. berkata, “Masalah pertama yang akan dihisab oleh Allah dari hambaNya pada Hari Kiamat adalah shalat. Apabila shalatnya terkabul, akan terkabul pula seluruh amalnya yang lain dan apabila shalat ini tidak diterima, maka akan gagal pulalah seluruh amal-amal yang lain.â€
Mungkin dalil ucapan beliau ini adalah, bahwa shalat merupakan rumus dan rahasia komunikasi antara makhluk dengan Khaliqnya. Apabila hal ini dilakukan dengan cara yang benar, maka niat taqarrub dan keikhlasan yang merupakan syarat terkabulnya keseluruhan amal akan bisa hidup dalam dirinya, dan apabila tidak, maka amal-amal yang lainnya akan menjadi kotor dan terpolusi sehingga akan menyebabkannya keluar dari derajat yang disyaratkan.
h. Shalat membawa kesucian hidup
Meskipun tanpa memperhatikan kandungan yang ada di dalam shalat, yaitu dengan memperhatikan validitasnya, pada hakikatnya ia mengajak manusia untuk hidup dalam kesucian. Hal ini dapat kita ketahui dari syarat tempat yang dipergunakan untuk melakukannya, pakaian yang dikenakan, alas dan air yang dituangkan untuk berwudhu serta mandi. Dan juga tempat yang dipergunakan oleh seseorang untuk mandi dan berwudhu harus merupakan tempat yang betul-betul tidak terkotori oleh ghasab dan tidak diperoleh dengan cara zalim dan melanggar hak-hak orang lain. Seseorang yang terkotori dengan kezaliman, ternodai oleh sifat-sifat kelewatan, riba, ghasab, mengurangi timbangan dalam transaksi, korupsi dan usaha-usaha yang dilakukan dengan menggunakan kekayaan yang haram, bagaimana ia bisa menyiapkan mukadimah shalat? Oleh karena itu, pengulangan shalat sebanyak lima kali dalam sehari semalam merupakan sebuah ajakan untuk menghormati hak-hak yang dimiliki oleh orang lain.
i. Shalat sebagai Pelindungan Diri dari Maksiat
Shalat selain harus mempunyai syarat keabsahan dan syarat keterkabulan, atau dengan kata lain, harus mempunyai syarat-syarat yang sempurna dalam dua hal tersebut, juga merupakan sebuah elemen yang efektif untuk meninggalkan begitu banyak perbuatan dosa.
Dalam kitab-kitab fiqih dan sumber hadis disebutkan begitu banyak faktor lain yang bisa menjadi referensi dari terkabulnya seatu shalat. Di antaranya, tentang meminum khamar (minuman keras) yang dalam sebuah riwayat ditegaskan, “Selama empat puluh hari, tidak akan diterima shalat seseorang yang meminum minuman keras, kecuali apabila ia bertaubat.â€
Dalam banyak riwayat kita membaca, “Salah satu dari golongan yang shalatnya tidak akan dikabulkan oleh Allah adalah shalat yang dilakukan oleh kaum zalim dan penganiaya.â€
Dalam sebagian riwayat lain telah ditegaskan bahwa shalat yang dilakukan oleh seseorang yang tidak membayar zakat tidak akan pernah terkabul. Demikian juga riwayat yang lain mengatakan bahwa memakan makanan haram, mengagumi diri sendiri, sombong, dan takabur merupakan salah satu penghalang bagi terkabulnya shalat. Dari sini bisa dipahami, sejauh manakah pengaruh konstruktif yang akan didapatkan seseorang dengan terpenuhinya syarat-syarat keterkabulan tersebut.
j. Shalat Penguat Semangat Disiplin
Shalat akan menguatkan semangat disiplin dalam diri manusia, karena bagaimanapun juga, shalat harus benar-benar dilakukan pada waktu yang telah ditentukan. Pelaksanaan shalat yang dilakukan dengan mengakhirkan atau mempercepat dari waktu yang seharusnya akan menyebabkan batalnya shalat yang dilakukan oleh seseorang. Demikian juga dengan aturan dan hukum-hukum lain dalam masalah niat, berdiri, ruku’, dan sujud. Memperhatikan semua ini akan menumbuhkan kedisiplinan dalam kehidupan sehari-hari menjadi betul-betul mudah dan lancar.
Semua poin di atas merupakan manfaat yang terdapat di dalam shalat dengan tanpa memperhatikan masalah shalat berjamaah. Namun bila keistimewaan shalat berjamaah ini kita tambahkan dalam diskursus di atas, di mana sebenarnya ruh dan hakikat shalat terletak pada shalat berjamaah, kita akan menemukan berkah yang tak terhitung banyaknya. Tetapi, pembahasan tentang shalat berjamaah bukan tempatnya untuk kami diskusikan di sini. Selain itu, sedikit banyak kita pun telah mengetahuinya.
kami menutup pembahasan tentang filsafat dan rahasia shalat dengan sebuah hadis yang telah dinukil dari Imam Ali bin Musa Ar-Ridha a.s.
Dalam menjawab surat yang menanyakan filsafat shalat, beliau berkata, “Tujuan disyariatkannya shalat adalah atensi dan pengakuan terhadap ketuhanan Allah swt, melawan syirik dan penyembahan berhala, berdiri di hadapan haribaan-Nya dalam puncak kekhusyukan dan kerendahan diri, mengakui dosa-dosa serta memohon pengampunan-Nya terhadap dosa-dosa yang telah dilakukannya, dan meletakkan dahi di seluruh hari untuk berkhidmat kepada-Nya.
Demikan juga, tujuan disyariatkannya shalat adalah supaya manusia senantiasa terjaga dan berpikir sehingga tidak ada lagi debu-debu kelalaian yang akan singgah di dalam hatinya, supaya manusia tidak sombong dan mabuk dengan dirinya, supaya manusia menjadi orang-orang yang khusyu’ dan tawadhu’, serta mencari dan mencintai bertambahnya pemberian segala sesuatu dalam agama dan dunianya.
Selain konsistensi zikir kepada Allah sepanjang hari dan malam yang dihasilkan dari sinar shalat, shalat akan membuat manusia tidak melupakan Pengatur dan Penciptanya, hingga jiwa liar dan tak terkendali tidak akan mampu mengalahkannya.
Dengan perhatiannya terhadap Allah swt. dan berdiri di haribaan suci-Nya, ia akan mencegah manusia dari perbuatan-perbuatan dosa dan akan menghindarkannya dari segala kerusakan.â€
Mengapa Kita harus Melakukan Shalat pada Waktu-waktu Tertentu?
Sebagian mengatakan bahwa kami bukannya mengingkari filsafat shalat atau menghilangkan perhatian terhadapnya. Kami tidak pula mengingkari adanya pengaruh-pengaruh konstruktif yang muncul dari pelaksanaan shalat. Tetapi, apa perlunya shalat itu harus dilakukan pada waktu-waktu tertentu? Apakah tidak lebih baik apabila kita memberikan kebebasan saja kepada masyarakat dalam melaksanakan shalat, sehingga mereka bisa melaksanakan kewajiban shalat ketika mereka mempunyai waktu dan kesiapan jiwa?
Jawab
Pengalaman membuktikan bahwa apabila masalah-masalah pendidikan tidak didominasi oleh kedisiplinan, keketatan, dan syarat-syarat tertentu, maka sebagiannya akan dilalaikan. Hal ini akan menyebabkan goyahnya pondasi dan akar masalah tersebut. Oleh karena itu, masalah semacam ini harus diatur secara cermat di bawah pengawasan kedisiplinan dan dengan terpenuhinya syarat-syarat tertentu sehingga tidak akan ada alasan yang dibuat-buat, supaya seseorang bisa meninggalkan apa yang telah menjadi kewajibannya. Khusus pada pelaksanaan ibadah ini dalam waktu tertentu, dan khususnya yang dilaksanakan dengan cara berjamaah, mempunyai pengaruh dan keagungan yang sangat khas yang tidak bisa diingkari. Pada hakikatnya, dengan melakukan shalat secara berjamaah, ia akan menciptakan munculnya satu kelas besar untuk pembentukan dan perbaikan diri manusia.1
No comments:
Post a Comment